Oleh : Muhchamad Haris Tarmidi
KENDALMU.OR.ID. APA yang mampu membuat manusia berhenti berdebat tanpa harus berbicara? Apa yang bisa meruntuhkan sekat-sekat perbedaan tanpa perlu sebuah persetujuan tertulis? Adakah bahasa yang lebih tua dari kata-kata, lebih kuat dari logika, dan lebih lembut dari narasi?
Dalam ruang pencarian itulah musik menemukan maknanya: sebagai jembatan rasa yang melampaui huruf-huruf beku.
Melalui Halal Bihalal bertema “Eratkan Ukhuwah, Kuatkan Jam’iyah”, Ketua PDM Kendal menghidupkan kembali irama persaudaraan dengan menghadirkan jingle karya Ikhsan Intizam, M.Ag., yang merasuk ke dalam denyut kesadaran kolektif.
Dalam jagat eksistensial komunitas, ukhuwah tidak dapat dirawat hanya dengan pertemuan fisik atau pertukaran kata. Ia membutuhkan penguatan ruhani yang menautkan jiwa satu dengan jiwa lain dalam kesadaran bersama.
Halal Bihalal yang digelar PDM Kendal, Sabtu (26/4/2025) menawarkan dimensi ini: sebuah pengalaman estetik yang membangkitkan resonansi rasa.
Kehadiran jingle ASHOI sebagai bagian integral acara memperlihatkan bahwa estetik mampu bekerja di wilayah di mana rasionalitas formal gagal menjangkau. Irama yang lahir bukan sekadar berfungsi sebagai hiasan, melainkan membentuk ruang batin yang memperdalam makna kebersamaan.
Apakah seni mampu menjadi medium dakwah yang lebih menggetarkan rasa manusia daripada instrumen verbal yang sering kaku?
Pertama, musik bergerak dalam wilayah pralinguistik, berbicara langsung kepada dimensi rasa, ingatan purba, dan intuisi. Ia membangun jembatan batin yang menghubungkan manusia dengan dirinya sendiri dan dengan yang lain.
Dalam konteks jingle PDM Kendal, nilai-nilai seperti ukhuwah dan infaq tidak disampaikan melalui ajakan verbal belaka, melainkan melalui getaran yang menyusup ke lapisan terdalam perasaan.
Musik menawarkan jalan pengalaman, bukan sekadar jalan pengertian. Melalui irama, ukhuwah dihadirkan sebagai sesuatu yang dihidupi, bukan sekadar dikatakan.
Kedua, integrasi karya seni dalam ruang dakwah membuka horizon baru bagi praksis keagamaan. Seni bukan alat tempelan untuk mempercantik ruang, melainkan bagian inheren dari struktur dakwah itu sendiri. Seni mampu menghadirkan nilai dalam bentuk yang lebih subtil namun menghunjam, memperluas cakrawala kesadaran jamaah.
Dalam pengalaman ini, dakwah menemukan bentuk ekspresi yang lebih selaras dengan kompleksitas emosi manusia. Ketika jamaah mengalami nilai melalui keindahan, nilai itu tertanam lebih kuat dibandingkan sekadar disampaikan melalui argumentasi.
Ketiga, partisipasi jamaah dalam lantunan jingle menciptakan pengalaman kolektif yang sukar direkayasa melalui forum diskusi biasa.
Bernyanyi bersama memproduksi rasa keterhubungan yang organik, membangun solidaritas yang bersumber dari pengalaman langsung, bukan dari sekadar kesepakatan ideologis. Ukhuwah dihidupkan melalui vibrasi emosional, bukan dipaksakan melalui deklarasi formal. Musik, dalam momen seperti ini, menjadi media pengikat yang alami. Keterikatan yang lahir dari pengalaman musikal bersifat lebih abadi, karena tertanam dalam pengalaman estetik bersama.
Keempat, keterlibatan langsung Ikhsan Intizam dalam penciptaan jingle mengungkapkan sebuah paradigma kepemimpinan baru.
Kepemimpinan bukan semata urusan mengelola struktur formal organisasi, melainkan meresapi denyut hidup komunitas dan menerjemahkannya ke dalam karya nyata.
Dalam dunia yang makin pragmatis, pemimpin yang mampu mengartikulasikan nilai ke dalam karya estetik memperlihatkan tingkat keterlibatan batin yang lebih tinggi. Kepemimpinan semacam ini menghadirkan kehadiran yang menghidupkan, bukan sekadar mengarahkan. Ia membentuk ruang di mana makna bersemi dari pengalaman bersama.
Pada puncaknya, peluncuran jingle dalam Halal Bihalal PDM Kendal menunjukkan bahwa ukhuwah tidak cukup dihadirkan melalui instruksi verbal atau formulasi normatif. Ia mesti dihidupkan dalam pengalaman rasa, dalam getaran emosi yang menyatukan manusia pada lapisan terdalam.
Seperti dikatakan Leonard Bernstein (1976), musik mampu menyebutkan yang tak terucapkan dan menyampaikan yang tak terjangkau.
Dalam konteks ini, dakwah menemukan jalannya yang lebih manusiawi: berbicara kepada rasa sebelum menembus akal. Melalui irama yang mengalun, ukhuwah tidak lagi menjadi konsep abstrak, melainkan realitas hidup yang teralami.
Gerakan dakwah masa depan perlu membaca isyarat ini dengan jernih. Seni, kreativitas, dan pengalaman estetik bukan sekadar alat bantu dakwah, melainkan fondasi penting dalam membangun kesadaran kolektif. Ketika nilai luhur diterjemahkan ke dalam medium yang mampu menggugah rasa, sebuah komunitas menemukan denyut hidupnya yang sejati.
Di sanalah ukhuwah bukan hanya slogan, melainkan menjadi pengalaman yang bergetar dalam ruang batin bersama. Musik, dalam hal ini, menjadi jembatan bagi lahirnya solidaritas ruhani yang tidak lekang oleh waktu.
Wallahu ‘alam
*) Muhchamad Haris Tarmidi, M.Pd adalah Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kendal, dan Kepala SDN 1 Karangmulyo, Pegandon, Kendal