Oleh : Abdul Ghofur*)
BARANGKALI diantara kita kurang tahu, kalau hari ini, 20 Maret 2024 diperingati sebagai Hari Dongeng Sedunia atau World Storytelling Day, sebuah perayaan untuk menghargai seni bercerita dan mengajak orang dalam memperkuat hubungan sosial dan budaya melalui cerita yang dibacakan.
Tujuan awal dari perayaan Hari Dongeng Sedunia adalah untuk merayakan seni mendongeng lisan, serta mendorong lebih banyak orang untuk menceritakan dan mendengarkan cerita dalam berbagai bentuk dan bahasa. Namun dalam perkembangan teknologi dan informasi, dongeng dalam bentuk tutur yang keluar dari mulut telah digadaikan dengan alat canggih, gawai atau gadget.
Bagi kita yang berusia 30 trahun ke atas, ada kenangan masa kecil yang hingga saat ini terpatri di ingatanku ialah ketika orang tuaku mendongeng untukku. Mulai dari Si Kancil hingga Timun Emas, selalu sukses mengantarku tenggelam menuju gelapnya malam. Alih-alih menjadi rutinitas istimewa antara orang tua dengan anaknya, rupanya kegiatan mendongeng kini telah jauh melenceng.
Sebut saja si Denny, anak balita yang terus merengek, karena ngantuk berat. Sang Ibu sedang berusaha menenangkannya dan mungkin membacakan cerita agar ia segera terlelap. Namun, di luar dugaan, ternyata sang ibu justru menyodorkan sebuah gawai dengan video yang sudah terputar. Seketika balita itu berhenti menangis karena tertarik menyaksikannya.
Video yang sedang diputar itu ternyata adalah sebuah dongeng tradisional dari Youtube. Saat itulah ia telah kembali asik dengan gawai nya sendiri, sedang sang balita telah fokus menonton dongeng yang diputar melalui gawai yang lain.
Bagi pemerhati dongeng, hal tersebut benar-benar terasa aneh. Dongeng yang dulu disampaikan secara verbal, kini berubah menjadi digital.
Dongeng secara verbal, lisan atau dongeng bahasa dan suara terjadi interaksi antara pendongeng dengan audien yang mengakibatkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam dongeng dapat tersampaikan dengan baik.
Berkaca pada kejadian di atas, bagaimana orang tua bisa menanamkan nilai-nilai moral jikalau bukan ia sendiri yang mendongeng untuk anaknya.
Sedangkan dongeng elektronik dengan piranti gawai, gadget, smartphone tidak ada interaksi yang terjadi di antara mereka. Tidak seharusnya gawai mengambil alih peran itu. Karena dalam sebuah penyampaian dongeng seharusnya terjalin interaksi yang kuat antara orang tua dan anaknya.
Mendongeng secara tutur juga dapat membantu anak-anak menyerap tutur kata yang sopan, mengembangkan rasa empati, dan mengenalkan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk. Mendongeng via lisan seharusnya menjadi sarana untuk menyalurkan nilai-nilai luhur dari pendongeng kepada pendengarnya. Sosok pendongeng yang dalam hal ini adalah orang tua, membawa peran penting melalui penggambaran karakter dari dongeng yang dibawakan. Bagaimana ekspresi si pendongeng, orang tua saat menirukan Sang Kancil yang rakus hingga Buto Ijo yang kelelahan berlari mengejar Timun Emas.
Sedangkan karakter-karakter dalam dongeng kini telah tergambar jelas pada layar gawai, tetap ada hal yang kurang. Tidak ada lagi kebebasan bagi pendengar untuk mengimajinasikan karakter-karakter dari setiap cerita yang didengarnya.
*) Abdul Ghofur: Pimred kendalmu.or.id
Â