BOJA.KENDALMU.OR.ID. Nuansa budaya begitu kental menyelimuti prosesi pelepasan 308 siswa-siswi kelas XII SMK Muhammadiyah 2 (Muha) Boja, Kabupaten Kendal, Sabtu (10/5/2025).
Di tengah pelataran sekolah, alunan gending-gending Jawa mengalir perlahan, menyapa hati yang bersiap melepaskan. Suara gamelan yang tenang dan syahdu mengiringi setiap rangkaian acara, menciptakan suasana khidmat, sakral, dan penuh makna.

Musik tradisional ini tak sekadar pelengkap acara. Ia menjadi jembatan batin antara momen-momen formal seperti sambutan kepala sekolah, perwakilan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Boja, dan rundown acara lainnya.
Sedangkan momen puncak sungkeman dari acara pelepasan menjelma menjadi ritual suci penuh bakti—ketika para siswa bersimpuh di hadapan orang tua masing-masing, memohon maaf dengan hati yang lapang.
Diiringi lantunan instrumentalia klasik yang meresap hingga relung jiwa, suasana pun mengguncang kalbu, menyulam haru dan rasa dalam tenunan kasih yang tak terucapkan.
Di hadapan orang tua para siswa bersimpuh. Dengan tubuh yang merunduk dan suara hati yang lirih, mereka mencium tangan, menyentuh lutut,
Tak sedikit air mata jatuh. Bukan karena sedih semata, tapi karena keharuan yang mendalam—ketika cinta, maaf, dan terima kasih tumpah menjadi satu.

Dalam suasana senyap yang penuh rasa, seorang guru, Lina Murniasih, tampil membacakan narasi moral yang menyayat lembut hati hadirin.
Dengan suara pelan namun tegas, ia membimbing para siswa merenungkan makna sungkeman.
“Bayangkan kesalahan kalian pada orang tua. Hari ini bukan waktu untuk gengsi. Ini adalah saat yang tepat untuk meminta maaf dan memohon restu, karena jalan ke depan tidaklah mudah,” ucapnya menyentuh.

Lina melanjutkan dengan narasi permohona yang menggugah:
“Ayah, Ibu… dalam tunduk dan simpuhku di hadapanmu, aku memohon maaf atas segala khilafku. Atas lisanku yang kadang menyakitimu, sikapku yang tak sopan, dan tingkah lakuku yang pernah mengecewakanmu… Terima kasih atas setiap tetes keringat dan cinta tulusmu yang tak pernah pamrih.”
Dengan air mata yang jatuh tanpa suara, para siswa kemudian membasuh kaki ayah ibunya dengan air penuh penghayatan, sebuah simbol kerendahan hati dan penghormatan tertinggi.
Setelah itu, tisu kering disiapkan untuk mengusap pelan kaki yang telah melangkah jauh demi mereka. Lalu pelukan hangat pun menyusul, membalut semua yang tak bisa terucap.
“Peluklah orang tuamu… doakan mereka. Doakan dirimu. Mohonkan kelancaran dalam meraih cita-cita di masa depan,” ujar Lina, mengakhiri prosesi.
Prosesi sungkeman berlangsung dalam keheningan yang khidmat, menyentuh ruang-ruang batin yang paling dalam.
Di hadapan para tamu undangan yang berdiri menyaksikan dengan mata yang mulai basah, para siswa bersimpuh di hadapan orang tua mereka, dalam diam yang penuh makna, dan dalam gerak yang menyuarakan ribuan kata yang tak terucap.

Tangan-tangan siswa meraih jemari yang dulu menuntun langkah pertama mereka. Kening yang pelan menyentuh punggung tangan, seolah ingin menebus setiap salah yang pernah ada. Di antara isak tertahan dan napas berat, cinta dan penyesalan bertemu dalam satu tarikan napas.
Para tamu undangan terdiam, larut dalam keharuan yang menyelimuti suasana. Tak sedikit dari mereka menunduk, ikut merasakan getar kasih dan rasa syukur yang memancar dari tiap peluk dan linangan air mata.
Prosesi itu bukan sekadar tradisi, melainkan napas dari nilai-nilai luhur yang terus dijaga—tentang hormat, tentang cinta, dan tentang kembali kepada yang memberi segalanya tanpa pamrih: orang tua.
Instrumentalia kali ini lebih dalam nadanya. Seolah menjadi penutup lembut dari babak kehidupan yang baru saja selesai, dan sekaligus pembuka jalan menuju masa depan penuh harapan. (fur)