Oleh Khafid Sirotudin
KENDALMU.OR.ID. Jumat Pahing, 25 April 2025, sesudah salat Ashar saya dan istri berangkat dari rumah Weleri melewati jalan Tol Semarang Batang, keluar pintu exit tol Kandeman. Setengah jam perjalanan dari Weleri.
Kami silaturahmi ke rumah “Ibuk Batang” (Lilik Sutrisning, 82 tahun) –keponakan mbah Supeni, Pendiri PNI– untuk “tilik kaji”. Sebuah budaya keagamaan masyarakat Jawa Muslim berkunjung ke rumah orang yang hendak menjalankan ibadah haji.
Alhamdulillah kami bisa bertemu langsung Ibuk Batang. Beliau “ngendika” (mengatakan) sudah setengah bulan ini ‘hijrah makaniyah’ (pindah rumah sementara) ke salah satu putrinya, Lila, pendamping ibadah haji. Tidak berarti menghindari tamu yang berkunjung, tetapi untuk menyiapkan kesehatan badan agar prima mengingat usia.
Di rumah Ketuk, Ibuk Batang menemui kami ditemani Tiga putranya (dari 9 putra-putri), yaitu ustadz Drs. Margo Hutomo, Lc. (Putra tertua), Galih Suryono (teman kuliah di FE Undip) dan Fatah. Di keluarga Batang, saya sering “diparapi” (dianggap) sebagai anak ke Sepuluh.
Saya bertemu mbah Bewek (Murhadi, 72 th) Jawara Batang pada jamannya, saat jamaah salat Maghrib. Sudah 17 tahun dia bermukim dan bertani di Kutowinangun Kebumen bersama istri, 3 anak dan 3 cucunya.
Mbak Bewek meluangkan waktu khusus untuk tilik kaji dan menghadiri saudaranya yang mantu. Kami “unda-undi” (hampir bersamaan waktunya) tiba di Batang.
“Piye kabare, jenange sik madit karo putune piro (Gimana kabarnya, anaknya yang menikah dan cucunya berapa) “, tanya mbah Bewek.
“Alhamdulillah nembe njis, putune rong mbah (Alhamdulillah baru satu yang menikah dan cucunya dua)”, jawab saya dengan “Bahasa Khas” Batang sejak jaman Kolonial. Bahasa Khas Batang berbeda dengan “bahasa jalanan” Semarang atau Yogyakarta yang mendasarkan pada diksi basa Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka.
Kami terharu menyaksikan Ibuk Batang dan mbah Bewek berangkulan dengan saling meneteskan air mata. Mengingat kebersamaan mereka yang lama dengan Suwargi pak Mobin Sanusi (suami Ibuk Batang, wafat 1995). Sejak tahun 1961 Ibuk Batang bermukim di kampung Ketuk, Gang Kathik Kelurahan Proyonanggan Tengah (dulu Proyonanggan) Kecamatan Kota Batang.
Mushola Al-Falah (18/9/1966) dibangun setahun setelah Gestapu PKI 1965. Mushola adalah monumen amal saleh yang masih berdiri hingga kini. Saya berbahagia bisa bertemu Yusuf (alumni UMS) dan sebagian jamaah Maghrib yang masih mengenali saya. Betapapun saya pernah hidup Dua tahun di kampung Ketuk, saat bekerja di LPK IIB Batang (1991-1993). Upahnya waktu itu Rp 50.000 per bulan.
Allah Swt dengan Rahmat dan Taufik-Nya masih memberikan kami kesehatan dan kesempatan untuk bersilaturahmi dengan orang-orang baik yang pernah membantu, menolong dan menghiasi sejarah hidup kami.
Saya ingat selalu pesan Suwargi Bapak kami, Damanhuri Syiroj (wafat 1999, usia 63 tahun) : “Jangan pernah melupakan orang yang pernah berbuat baik kepada kita”.
Wallahu’alam
Pagersari, 29 April 2025